Mutasi Jabatan, Upaya Mencegah Korupsi dan Gratifikasi

Oleh: Asep Suriaman, S.Psi
Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PuSDeK)


Belum lama ini, menjelang rotasi kepala dinas di Kabupaten Malang, beredar kabar yang cukup mengejutkan. Sejumlah pejabat dilaporkan mulai panik. Yang lebih mengkhawatirkan, ada dugaan beberapa di antaranya sudah menyiapkan ‘uang pelicin’ untuk mengamankan posisi atau bahkan mengejar jabatan-jabatan basah. Bahkan kabarnya, ada yang sudah menyerahkan uang tersebut.

Pertanyaannya sederhana tapi menohok: kalau ini benar terjadi, siapa yang terima uang itu?

Inilah yang disebut gratifikasi mutasi jabatan – praktik jual beli jabatan yang sayangnya masih sering kita dengar terjadi di berbagai daerah. Tindakan semacam ini bukan cuma melanggar hukum, tapi juga merusak sendi-sendi birokrasi kita dari dalam. Kualitas pelayanan publik jadi korbannya, karena yang duduk di kursa strategis bukan yang paling kompeten, melainkan yang paling tebal amplop.

Kenapa Rotasi Jabatan Itu Penting?

Bayangkan seorang kepala dinas yang sudah menjabat 5-7 tahun di posisi yang sama. Apa yang terjadi? Dia sudah terlalu nyaman, sudah punya “jaringan” sendiri, dan kesempatan untuk melakukan penyimpangan jadi semakin besar. Bukan berarti semua pejabat yang lama menjabat pasti korup, tapi faktanya, semakin lama seseorang di satu posisi, semakin besar godaan dan peluang untuk memanfaatkan kewenangan demi kepentingan pribadi.

Di sinilah rotasi dan mutasi jabatan memainkan peran krusial. Dengan memindahkan pejabat secara periodik, kita memutus rantai kekuasaan yang terlalu panjang. Sistem ini mencegah seseorang menjadi “penguasa” di satu tempat terlalu lama.

Tapi manfaatnya tidak berhenti di situ. Rotasi jabatan juga membuka peluang bagi regenerasi kepemimpinan. Pejabat-pejabat muda yang punya ide segar dan semangat baru bisa naik ke posisi strategis. Mereka yang sudah terlalu lama di satu tempat kadang terjebak dalam pola pikir status quo – susah menerima perubahan, takut ambil risiko, dan cenderung mempertahankan cara-cara lama meski sudah tidak efektif.

Dari sisi pengembangan SDM, mutasi jabatan juga memberikan pembelajaran berharga. Seorang pejabat yang pernah memimpin dinas pendidikan kemudian dipindah ke dinas kesehatan akan punya perspektif yang lebih luas. Pengalaman lintas sektor ini memperkaya wawasan dan membuat mereka jadi pemimpin yang lebih komprehensif.

Tapi Harus Dilakukan dengan Benar

Sekarang, rotasi dan mutasi ini bukan berarti asal pindah-pindahin orang. Ada prinsip-prinsip yang harus dijaga kalau kita mau sistem ini benar-benar efektif mencegah korupsi.

Pertama, soal kompetensi. Jangan sampai seseorang yang background-nya di bidang teknik tiba-tiba diminta memimpin dinas kesehatan tanpa persiapan yang cukup. Rotasi harus mempertimbangkan kualifikasi dan kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk jabatan baru. Kalau tidak, yang terjadi malah chaos dan pelayanan publik yang berantakan.

Kedua, transparansi. Ini yang paling penting dan sering dilanggar. Proses mutasi harus jelas kriterianya apa, siapa yang memutuskan, dan apa pertimbangannya. Ketika prosesnya gelap dan tertutup, di situlah gratifikasi bersarang. Makanya sistem yang terbuka dengan pengumuman publik itu krusial.

Ketiga, keadilan. Rotasi tidak boleh jadi alat untuk memenuhi kepentingan politik atau memberi hadiah kepada kelompok tertentu. Ini yang harus benar-benar dijaga. Pernah kan kita lihat kasus di mana seseorang dipromosikan karena dekat dengan pejabat tertentu, bukan karena kinerjanya bagus? Nah, praktik seperti ini yang harus dihilangkan.

Mencegah Gratifikasi dalam Mutasi

Kembali ke kasus Kabupaten Malang tadi. Kalau memang benar ada praktik uang pelicin dalam mutasi jabatan, ini harus jadi alarm keras buat kita semua. Gratifikasi dalam bentuk apapun terkait mutasi jabatan adalah suap, titik. Tidak ada pembenaran untuk itu.

BACA JUGA : Suwadji: Dari Camat Hingga Kepala Dinas Pendidikan,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *