You are currently viewing Dugaan Mafia Migas dan Buying Time: Ahok Beberkan Fakta Mengejutkan

Dugaan Mafia Migas dan Buying Time: Ahok Beberkan Fakta Mengejutkan

Isu mafia migas kembali mencuat ke publik setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan Komisaris Utama Pertamina, mengungkap berbagai dugaan praktik korupsi dalam sektor minyak dan gas. Dalam wawancaranya di narasi.tv, Ahok menyoroti bagaimana taktik “buying time” digunakan oleh direksi Pertamina untuk menghambat reformasi dan mempertahankan sistem yang korup.

Apa Itu Buying Time?

Istilah “buying time” yang digunakan Ahok merujuk pada taktik memperlambat atau menunda kebijakan-kebijakan penting yang dapat mengganggu kepentingan kelompok tertentu dalam Pertamina. Ia menilai bahwa strategi ini bertujuan untuk menjaga status quo mafia migas dengan alasan administratif atau teknis, sehingga kebocoran anggaran terus terjadi tanpa perubahan yang signifikan.

Ahok menyebut bahwa beberapa direksi Pertamina kerap menunda penerapan sistem pengadaan yang lebih transparan, seperti e-katalog LKPP. Padahal, sistem ini dapat mencegah permainan harga dan praktik korupsi dalam pengadaan bahan bakar dan aditif.

Indikasi Mafia Migas dan Permainan dalam Pengadaan

Dalam wawancaranya, Ahok mengungkap beberapa contoh kasus yang menurutnya mencurigakan:

  1. Pemecatan Direksi yang Tidak Sejalan
    • Seorang mantan Direktur Utama Pertamina Niaga diduga dipecat karena menolak menandatangani kontrak pengadaan aditif yang tidak transparan.
    • Ahok menduga pemecatan ini dilakukan untuk menggantinya dengan orang yang lebih kooperatif terhadap kepentingan mafia migas.
  2. Pengadaan Aditif yang Bermasalah
    • Menurut Ahok, ada indikasi bahwa pengadaan bahan tambahan (aditif) untuk bahan bakar dilakukan dengan skema yang tidak wajar.
    • Ia mendengar adanya keterlibatan oknum di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mencoba menekan direksi agar membeli aditif tertentu melalui proses tender yang tidak sah.
  3. Ketergantungan pada Impor Minyak
    • Ahok menyoroti bahwa ada upaya sistematis untuk mempertahankan impor minyak dengan dalih kilang dalam negeri tidak efisien.
    • Ia menilai bahwa ketergantungan ini bukan semata karena faktor teknis, melainkan ada kepentingan tertentu yang ingin mempertahankan aliran uang dari impor.

Dampak Buying Time terhadap Reformasi Pertamina

Ahok mengungkap bahwa upaya reformasi di Pertamina sering kali berhadapan dengan resistensi internal yang kuat. Ia menegaskan bahwa strategi “buying time” bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga berdampak besar terhadap keuangan negara dan harga bahan bakar di Indonesia.

Beberapa dampak negatif yang ia sebutkan meliputi:

  • Kehilangan potensi efisiensi biaya: Dengan sistem pengadaan yang lebih transparan, Ahok memperkirakan bisa ada penghematan hingga 46% dalam belanja pengadaan.
  • Harga BBM yang lebih tinggi: Ketergantungan pada impor membuat harga bahan bakar di dalam negeri lebih rentan terhadap fluktuasi global.
  • Kurangnya transparansi: Upaya digitalisasi dan reformasi pengadaan sering kali ditolak atau diperlambat, membuat pengawasan menjadi sulit.

Solusi yang Ditawarkan

Untuk memberantas mafia migas dan menghilangkan praktik “buying time”, Ahok mengusulkan beberapa langkah konkret:

  1. Penerapan e-katalog LKPP untuk semua pengadaan migas, sehingga harga dan pemasok dapat diverifikasi secara transparan.
  2. Penguatan pengawasan independen, termasuk keterlibatan KPK dan PPATK dalam memantau aliran dana pengadaan minyak.
  3. Reformasi internal di Pertamina, termasuk mengganti direksi yang terbukti menghambat reformasi.

Kesimpulan

Pernyataan Ahok memberikan gambaran bahwa mafia migas bukan hanya sekadar isu, tetapi sebuah jaringan yang terstruktur dan memiliki pengaruh besar dalam sektor energi nasional. Buying time menjadi salah satu strategi utama yang digunakan untuk mempertahankan sistem yang menguntungkan kelompok tertentu.

Jika pemerintah serius ingin memberantas mafia migas, diperlukan langkah tegas untuk menerapkan transparansi dalam pengadaan serta memastikan bahwa semua keputusan didasarkan pada kepentingan publik, bukan permainan elite bisnis dan politik.

Kini, pertanyaannya: Akankah pemerintah berani membongkar praktik ini hingga ke akarnya?

Tinggalkan Balasan