Ngopini – Hak Asasi Manusia atau HAM adalah hak dasar yang melekat dan dimiliki oleh setiap manusia ketika lahir di dunia. Mengacu pada definisi yang diungkapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Medan Area di tahun 2020, HAM yaitu hak fundamental bagi setiap manusia, tanpa melihat suku bangsa, ras, agama, golongan, bahasa, laki laki maupun perempuan, dan lain sebagainya.
Pendapat definisi HAM tersebut sejalan dengan pandangan Profesor Koentjoro Poerbopranoto yang merupakan Guru Besar bidang Hukum Tata Pemerintahan di Universitas Airlangga tahun 1961. Beliau mendefinisikan HAM sebagai suatu HAK yang bersifat asasi (fundamental), bersifat suci, serta tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan di tahun 2005, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 sebagai wujud penghargaan, penghormatan, dan perlindungan negara terhadap Hak Asasi Manusia.
Ketika kita membicarakan tentang Hak Asasi Manusia, rasanya tak bisa lepas dari sosok yang akrab disapa dengan panggilan Munir. Namanya menghiasi sudut-sudut keramaian kota, di tembok-tembok dalam bentuk gambar wajah, di kaos-kaos yang bertuliskan tenang, pembunuh munir masih bebas , di media pemberitaan baik cetak maupun elektronik. Bahkan amat banyak konten-konten video bertebaran di internet yang mengulas perjuangannya dalam menegakkan HAM, baik dari kalangan akademisi, aktivis LSM pegiat HAM, politisi, maupun rakyat biasa. Namun sayang, belum banyak generasi muda kekinian yang mengenal sosok beliau. Lantas, siapakah sosok Munir yang diagung-agungkan sebagai pejuang HAM itu ?
Sosok tersebut adalah Munir, yang memiliki nama lengkap Munir Said Thalib. Munir lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 8 Desember 1965. Namanya harum tidak hanya sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, melainkan pembela rakyat kecil yang sering tertindas oleh kepentingan kaum elit. Pejuang keadilan yang gigih menuntut negara agar bertanggung jawab terhadap penegakan HAM dan pelanggaran-pelanggarannya di masa lalu.
Seseorang yang berjuang agar kasus kematian buruh bernama Marsinah dituntaskan oleh negara meskipun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seseorang yang tatkala berorasi di depan publik sering berapi-api dan tak gentar menyerang pihak-pihak yang tidak adil dalam penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sayang, cerita hidup Munir harus berakhir saat ia menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Kala itu di tahun 2004, Munir hendak melanjutkan studinya tentang Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia di Belanda, meskipun tidak pernah terwujud menjadi kenyataan. Sebab Munir telah menghembuskan nafas terakhirnya di Pesawat Garuda Indonesia GA-974 dengan rute perjalanan Jakarta-Amsterdam, tepat dua jam sebelum pesawat tiba di Bandara Schipol, Amsterdam pada tanggal 7 Desember 2004. Mengacu pada informasi dari Badan Forensik Belanda, sebagaimana dilansir oleh Tempo pada 6 September 2021, di dalam tubuh Munir ditemukan zat yang disebut Arsenik.
Arsenik merupakan racun yang mematikan, sulit terdeteksi, tidak berbau, tidak berwujud, bahkan tidak mempunyai rasa ketika masuk ke dalam tubuh manusia. Dalam beberapa peristiwa kejahatan, arsenik digunakan sebagai racun untuk membunuh seseorang. Setidaknya inilah wawasan tentang Arsenik yang penulis simpulkan dari berbagai sumber.
Semasa hidupnya, Munir tercatat sepak terjangnya dalam mengawal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada masa lalu. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok tahun 1984 misalnya, Munir bertindak sebagai penasehat hukum bagi keluarga para korban. Kemudian dalam kasus tewasnya Marsinah, buruh pabrik asal Sidoarjo di tahun 1993, Munir melakukan mediasi terhadap para penegak hukum dalam rangka pengungkapan pelaku penculikan Marsinah. Dan yang tak kalah penting, Munir juga aktif melakukan advokasi terhadap para keluarga korban kasus penculikan selama periode 1997-1998 jelang dan saat rezim Orde Baru tumbang yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998. Adapun beberapa kasus lain yang pernah ditangani oleh Munir yaitu tragedi pelangaran HAM Berat di Talangsari, Lampung (07 Februari 1989), Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti (12 Mei 1998), kasus kerusuhan Ambon di tahun 1999, dan lain-lain.
Bahkan dalam menangani kasus pelanggaran HAM, Munir sering mengeluarkan sikap yang sangat tegas kepada pemerintah. Ada 2 pernyataan sikap yang dalam pandangan penulis patut dijadikan pembelajaran bagi penegakan keadilan dan HAM di negeri ini. Pertama, dalam artikel di kontras.org berjudul Kerusuhan Ambon : Harus yang Terakhir yang dirilis tanggal 30 Januari 1999, Munir menyatakan kalimat, “Pemerintah dan ABRI harus memastikan bahwa kerusuhan sosial di Ambon harus menjadi kerusuhan yang terakhir dan tidak terulang lagi di wilayah lain. Pemerintah harus memastikan adanya pengungkapkan yang jujur dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap permainan kotor politik kekerasan”. Kemudian dalam kasus Talangsari, Munir pernah mengkritik keras sikap para anggota DPRD Kabupaten Lampung Timur yang dianggap mandul dalam mengusut tragedi itu.
Sebagaimana dilansir oleh tempo.co tertanggal 1 September 2003, Munir mengucapkan kalimat,” “Bila partai-partai itu tidak mau melakukannya (mengusut tuntas pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung Timur), lihat saja, kepercayaan rakyat Lampung akan berkurang dan pada pemilu mendatang akan terjadi penurunan suara”.
Meskipun pihak aparat penegak hukum telah menyidangkan kasus pembunuhan terhadap Munir, sebagian masyarakat masih bertanya-tanya siapakah dalang sebenarnya di balik kasus tersebut. Sebagaimana kita ketahui, Pollycarpus Budihari Priyanto (alm.) yang merupakan pilot pesawat Garuda Indonesia telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir oleh Kepolisian pada Maret 2005.
Aparat penegak hukum juga menyeret nama Muchdi Purwopranjono yang juga mantan intelijen dan tentara sebagai penganjur dalam pembunuhan Munir. Namun, keduanya dinyatakan bebas oleh pengadilan di waktu yang berbeda. Muchdi Purwopranjono divonis bebas pada tanggal 31 Desember 2008 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara itu, Pollycarpus Budihari Priyanto divonis bebas murni pada tanggal 29 Agustus 2018. Hal inilah yang membuat keraguan banyak pihak bahwa kasus pembunuhan Munir belum benar-benar tuntas.
Harapan publik agar penyelesaian kasus pembunuhan Munir menjadi terang benderang nampaknya harus menemui jalan buntu saat dokumen Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir dinyatakan hilang, disusul dengan wafatnya Pollycarpus Budihari Priyanto di tahun 2020. Sebagaimana disarikan dari berbagai sumber, dokumen Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir tersebut hilang di tahun 2019. Suciwati, istri almarhum Munir, sempat melaporkan Kementerian Sekretariat Negara ke Ombudsman RI pada tanggal 5 November 2019 atas tuduhan maladministrasi dalam hilangnya Laporan TPF tersebut. Sebenarnya jauh sebelum hilangnya laporan TPF, negara tidak pernah benar-benar membuka dokumen laporan hasil TPF tersebut ke publik. Meskipun hasil temuan TPF itu telah disampaikan ke Presiden Republik Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 24 Juni 2005. Diperburuk dengan wafatnya Pollycarpus Budihari Priyanto yang meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 2020 akibat mengidap Covid-19, sehingga makin menutup peluang untuk menyelidiki pihak-pihak lain yang kemungkinan besar terlibat dalam pembunuhan.
Namun terlepas dari lika-liku pelik dalam penyelesaian kasus pembunuhan Munir, perjuangan Munir banyak mengajarkan berbagai hal untuk kehidupan generasi muda masa sekarang. Perjuangan Munir mengajarkan kepada kita bahwa hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, sedangkan sangat kompromi kepada penguasa, pemilik kuasa, dan pemegang kepentingan besar di balik kasus-kasus pelanggaran. Munir mengajarkan kita bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia patut diperjuangkan walaupun harus berhadapan dengan tembok tebal mafia kejahatan. Ia tidak kenal lelah apalagi menyerah dalam bersuara lantang membela hak-hak kaum marjinal dan tertindas.
Yang tak kalah penting, kematian Munir telah mengingatkan kita bahwa berdiri tegaklah dalam membela kebenaran di jalan yang lurus, meskipun nyawa kita yang menjadi taruhannya. Sebagaimana ungkapan terkenal dari dunia barat menyatakan bahwa “kebaikan yang kita lakukan sepanjang hidup, akan bergema di keabadian’, maka makin tegaslah bahwa jasad Munir boleh mati, tetapi jasa-jasa kebaikannya akan terus abadi dalam sejarah panjang penegakan hukum di republik yang telah lebih dari 70 tahun berdiri.
Oleh : Handika Sevia Pradita Putri , Dito Aditia.