Ngopini – Mangan Sego Sadukan.
Dengan cinta serta sedikit keras kepala seorang aktivis kepalkan tangan kirinya, berteriak keras suarakan pembelaan untuk yang tertindas. Sambil duduk jengkeng di warungnya Mak Yah dekat kampusnya, seorang aktivis mangan ‘sego sadukan’ setelah itu minum segelas kopi yang bibir gelasnya geripis, yakinkan diri mendapatkan kehidupan yang gemilang di masa depan. Imajinasi itu ia pelihara kuat-kuat sambil tak lupa menyedot sebatang rokoknya dalam-dalam, perlahan kepulan asap rokok itu menggumpal di wajahnya! Kemudian aktivis itu yakinkan diri melangkah dengan gagah ke kampusnya untuk pimpin demo!
Kini puluhan purnama berlalu. Aktivis kampus itu telah duduk di singgasana yang telah lama di idam- idamkan nya. Mau tidur, serta makan yang enak, kini jemarinya tinggal tunjuk saja. Karena uang di dompetnya tidak ada serinya!
Posisi mentereng lengkap dengan salary besar sudah berada digenggaman tangan. Kuatnya ihtiar mengantarkan pada perubahan nasib yang signifikan. Ia kini terbiasa kongkow di cafe mewah serta hotel berbintang buat ngopi serta ngeteh.
Karena Allah tidak tidur, siapa yang mau berjuang, ia akan mendapatkannya. Hukum alam berlaku dengan presisi! Namun kini tubuhnya selalu protes setiap harinya, karena terlalu banyak tidur, makan enak, kurang gerak. Oh dunia!
Waktu adalah uang, kini jadi rumus hidup sang mantan aktivis itu. Sekali ngisi materi serta workshop seminar, sudah pasti pundi-pundi uang siap diterima, tersimpan rapi di dalam amplop warna putih kadang coklat. Dahulunya hanya bisa bermimpi saja, kasihan! Cerita sang aktivis itu pada suatu senja kepada penulis!
Kini mantan aktivis itu sudah bisa ngoceh ke sana dan kemari, untuk ajari para koleganya yang hidupnya keblangsak! Kata magisnya berbunyi begini “Tidak mau belajar dengan tekun serta menahan lelah untuk terus belajar. Jangan salahkan takdir bila sego sadukan masih setia menemanimu”. Oalah urip-urip, cerita lucunya tiada habisnya!
“Lambemu nek muni apik men saiki,” ucapku spontan menjawabnya, sambil kita berdua tertawa terpingkal-pingkal, di markas besar saya @Taman Bungkul Surabaya.
Kasihan sego sadukan jadi yang dipersalahkan. Bukanya para pesohor yang berasal dari aktivis kampus di negeri ini, dahulu, saban pagi, siang, sore, dan malam hari selalu berebutan guna mendapatkan sego sadukan tersebut! Sekarang saja mantan aktivis itu radak pongah lupakan sejarah! Menuduh sego sadukan jadi obyek indikator kegagalan.
“Cuk, gak eling ta, mbiyen awakmu iku, uripe soko sego sadukan?”
Lalu kita berdua kembali terbahak bersama! Ojo ngekek ae awakmu iku.
Ternyata sego sadukan tetaplah nikmat dimakan sepanjang jaman. Pagi ini penulis kembali mengingat kejadian puluhan tahun silam, dengan sarapan sego sadukan, sambil menunggu datangnya orderan! Sego sadukan sangat layak untuk diingat bagi seluruh aktivis kampus di negeri tercinta ini. Agar mantan aktivis itu selalu ingat tentang sesuatu yang dahulu ia ingin perjuangkan kala jadi aktivis kampus! Meski kini telah berubah jadi seorang bohir tidak kurang kertas juga beras. Penulis berharapan besar, pikiran dan visi besar itu tidak sirna dari batok kepalanya!
Sederhana saja, tetaplah ingat bahwa Anda pernah diselamatkan, serta dibesarkan oleh nikmatnya sego sadukan!
Oleh : Agus Andi Subroto, Warkop Karmen Surabaya