Pernahkah kalian berada diposisi atau melihat seseorang yang sedang meluapkannya emosi secara berlebihan kemudian hal itu membuat kita yang melihat merasa tidak nyaman hingga membuat kita berfikir, “Ko dia kaya gitu si, kalau aku jadi dia ngga mungkin deh aku kaya gitu” atau “kalau aku jadi dia ni, aku bakalan gini ngga gitu kaya dia” dan sejenisnya. Kalau kalian mengalami hal tersebut, yaitu mengalami kesulitan untuk mengerti alasan seseorang dan kenapa seseorang melakukan sesuatu pada saat mengalami situasi tertentu, bisa jadi kalian mengalami yang namanya Hot Cold Empathy Gap.
Menurut wikipedia, Hot Cold Empathy gap merupakan suatu cognitive bias yang membuat kita meremehkan bagaimana prefensi kita bisa berubah tergantung situasi apa kita saat itu. Empathy gap dibagi menjadi dua, yang pertama cold state seperti: tenang, merasa rasional, collected dan sebagainya. Sedangkan hot state adalah kebalikannya: emosional, sedih, takut, lapar dll. Kesimpulannya jika kita berada dikeadaan cold state, akan sulit bagi kita membayangkan diposisi hot state, begitu juga sebaliknya ketika kita berada diposisi hot state akan sulit bagi kita untuk membayangkan diri kita diposisi cold state.
Contoh simple seperti ini, ada seseorang datang ke sebuah restoran ketika jam 5 sore dalam keadaan sangat lapar, dikarenakan dari pagi sampe sore sudah skip breakfast and lunch. Berhubung ia sangat lapar, pada saat melihat list menu ia merasa ingin memesan semua makanan yang tertera di list dikarenakan semuanya terlihat enak. Singkat waktu, saat semua makan yang sudah dipesan sudah datang kembalilah ia ke keadaan cold state, rasional and collected tadi, barulah ia sadar bahwa makanan yang ia pesan terlalu banyak dan ia akhirnya berfikir, “ini ngga mungkin habis”. Nah pertanyaanya, kenapa kita mengalami Empathy gap tadi? Jawabanya, ternyata human cognition itu state dipenden, maksudnya apa? Jadi saat kita melihat suatu keadaan atau suatu kondisi, bagaimana kita memproses informasi lalu bagaimana kita mengambil keputusan itu tergantung keadaan mental kita saat itu.
Empathy gap bukan tidak ada efeknya, ada dan tidak ke diri sendiri saja, akan tetapi ke orang lain juga. Kalau ke diri sendiri Hot Cold Empathy gap ini membuat kita memutuskan sesuatu – seuatu yang kurang baik atau kurang bijak. Ada quote yang sering kita dengar :
” Don’t promise when you’re happy,
don’t reply when you’re angry
and dont decide when you’re sad.”
Kemudian efeknya ke orang lain, kita bisa mudah judge mental ke orang lain, salah faham terhadap situasi orang lain, jadi ngga jarang kita jadi heran melihat kelakuan orang lain dan bahkan kita bergumam ke diri kita sendiri, “aku ngga bakalan ngelakuin kaya gitu” atau “kalau aku diposisi dia, aku bakalan ngelakuin hal yang lain”, karena sebenernya kita ngga tau ia berprosesnya seperti apa sejauh mana. So, lets thinking more far again.

Salah satu contoh kasus yang berhubungan dengan Hot Cold Empathy gap adalah social harrasment yaitu bullying bisa atau pelecehan seksual. Empati atau respon yang diberikan difokuskan pada keadaan korban, apa yang korban lakukan, menanyakan keadaannya “How do you feeling now?” bukan malah, “kenapa diem aja?”, “kenapa ngga ngelawan?”, “kenapa ngga teriak? Kalo aku jadi kamu pasti aku udah aku laporin” dan segala macam. Orang-orang akan berfikir under estimate, tapi pertanyaannya, apakah benar dia akan berlaku demikian saat ia disituasi yang sama?, apakah ia akan langsung reaktif? Atau apapun yang akan ia lakukan seperti yang ia katakan tadi?. Membicarakan sosial harrasment biasanya membahas tenpang posisi kita menjadi korban, pasti kita akan marah banget, ngga tau harus berbuat apa dan sebagainya, tapi kita lupa bahwa kita akan dilanda rasa takut. Bullying atau pelecehan seksual membicarakan tentang intimidasi, soal korban yang mengintimidasi korbannya yang didalamnya ada ketimpangan kuasa atau ketimpangan power dimana korban akan merasa takut dan biasanya orang yang merasa diposisi yang menakutkan ngga banyak orang yang bisa langsung reaktif, pasti yang banyak adalah syok, bingung, diem. Yang dianggap konyol ketika orang yang meragukan legitimasi yang dialami korban bullying atau kekerasan, “ko baru ngelapor sekarang, kemarin-kemarin kemana aja, apakah bener kamu dilecehin, harusnyakan logikanya kalo kamu merasa dilecehkan kamu seharusnya langsung reaktif dong”, terutama jika pertanyaan-pertanyaan ini disampaikan oleh orang-orang yang berkerja di intansi sebagai pelindung, karena ia belum cukup paham mengenai human behavior seperti ini. Dalam beberapa penelitianpun menyebutkan banyak yang bisa langsung lapor atau mengonfrontasikan hal tersebut.
Pada dasarnya persoalan tentang Empathy gap adalah persoalan yang sangat manusiawi, kembali pada human cognitive itu sifatnya state dipendent, tergantung keadaan mental pada saat itu, kemudian just mental, miss understanding dll itu karena kita cenderung memproyeksikan apa yang kita rasakan ke orang lain. Semua hal itu pasti ada personal factor serta ketidaksadaran akan eksistensi dari personal factor ini yang membuat kita sulit untuk memahami atau berempati ke orang lain, kita jadi suka meremehkan behavior orang lain dll. Kita pun sering salah atau kurang mampu menprediksi sikap kita pada situasi tertentu lalu bagaimana ke orang lain?. Mari selangkah lebih berempati, mari kurangi justifikasi karena kita tidak pernah tahu didetik keberapa seseorang memutuskan untuk berubah. Keep evaluation, Stay on progress, stay safe and stay #belajardirumahaja
Hey, jika kamu belajar baru hari ini jangan lupa bagikan tulisan ini ya.
Oleh : Trisma Novi F ( Mahasiswi Universitas Islam Raden Rahmat Malang )